NAGARI SECARA UMUM :
Kalau kita berbicara tentang Nagari maka disini ada dua asumsi, yaitu Nagari secara Kultur Histiris atau Sejarah dan Realitynya serta Nagari dalam Konteks Pemerintahan. Sebab sebuah Nagari secara umum itu hamper semua orang dan generasi tahu bahwa suatu Nagari mempunyai wilayah yang sudah tertentu dan masyarakat yang punya kekerabatan satu sama lain, dalam hal ini Penulis akan berbicara tentang Nagari lebih luas, sebab sebutan nama Nagari hanya ada di Sumbar atau Minang Kabau,maka oleh sebab itu kita disini akan berbicara tentang Sumbar dan Minang Kabau.
Bahwa Nagari secara umum adalah suatu wilayah kesatuan masyarakat yang tidak Multi Etnik dengan aturan – aturan khusus yang telah diwarisi turun temurun dan masyarakatnya hidup satu sama lain memiliki hubungan / ikatan Emosional yang kuat / punya kekerabatan.
Nagari itu dari dahulu kala hingga sekarang dengan wilayah yang punya batas yang jelas dan tidak bias berobah, dan Nagari itu dahulu kala didirikan oleh cerdik pandai waktu itu yang orang – orang atau masyarakatnyadi bilang masih sedikit, sebelum Nagari itu ada maka di suatu tempat itu yang disebut hutan tinggi dan hutan rendah, dimana hutan yang kering atau ketinggian atau perbukitan, yang dinamakan hutan tinggi akhirnya menjadi kebun atau perladangan, sedangkan hutan rendah yaitu tanah basah atau tanah kerendahan dijadikan persawahan.
Maka yang dimaksud hutan tinggi atau hutan rendah itu, ketika itu oleh sekelompok orang dicancang dan dilatehdi taruko, setelah bersih dan dapat dimanfaatkan sebagian untuk tempat kediaman dan sebagian dijadikan tempat bertanam padi serta tanaman tua dan tanaman muda lainnya.
Ketika pada mulanya pemukiman itu terjadi setelah dicancang dan dilateh serta ditaruko, kawasan pemukiman baru itu dinamakan Guguak, dan didaerah baru itu tentu ada beberapa kelompok maka disebutlah beberapa kelompok baru itu baguguak – guguak kemudin dari waktu kewaktu perkembangan manusia yang berketurunan, dan keinginan selaku manusia hidup dan normal tidak terlepas ingin memperkembangkan serta ingin menambah apa yang sudah ada pada mereka.
Manusia yang bertambah jumlahnya, kebutuhan yang juga semakin bertambah, keinginan juga meningkat maka mereka yang berguguak mengembangkan daerahnya bertambah luas dan akhirnya menjadi beberapa guguak lalu disebut Taratak, kemudian seiring dengan perkembangan juga jumlah manusia, kebutuhan juga meningkat, keinginan juga semakin bertambah, dari Taratak yang sudah terbentuk lalu mereka satukan menjadi Koto – koto.
Koto-Koto yang sudah di bentuk maka menjadilah kelompok-kelompok yang lebih besar dengan wilayah yang semakin luas, baik persawahan atau perladangan yang mereka garap dan mereka perluas juga semakin banyak. Koto-koto juga semakin luas dan manusia semakin bertambah dari waktu ke waktu maka koto-koto mereka satukan pada akhirnya mereka namakan kampuang.
Setelah kampuang yang telah ada di namakan wilayah tanah garapan mereka seperti sawah cukup banyak / luas dan kebun atau perladangan juga sudah luas atau banyak, dan orang-orang yang hidup dan berdiam di kampuang iti sudah berganti generasi, dan sudah ada berbagai fungsi-fungsi tertentu dari orang-orang yang berperan dalam masyarakatnya, seperti sudah ada tuo kampuang atau orang yang berpengaruh lalu di angkat sebagai orang yang di tinggikan sarantiang dan di dahulukan salangkah dalam berbagai tingkatan dalam masyarakat waktu itu.
Tuo-tuo kampuang atau orang-orang yang punya pengaruh atau pimpinan kelompok yang berasal awalnya tadi dari guguak dan kototersebut, seiring dengan perkembangan social masyarakat ketika itu, yang tentu juga mereka mengalami peningkatan kecerdasan karena konon karakter orang-orang yang kemudian bernama orang minangkabau itu adalah keturunan orang-orang cerdas dan meskipun ketika itu belum ada sekolah atau sarana pendidikan seperti sekarang ini, tapi jauh lebih pentng dari itu mereka belajar dari apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka lihat yang kemudian sesuai watak karakter serta tuntutan kebutuhan dan keinginan mereka berfikir, mengakali sehingga dapatlah buah fikiran baru dan ide untuk membuat yang belum ada artinya secara keseluruhan bagi mereka waktu itu “Alam Takambang Jadi Guru “.
Bertitik tolak dari Alam Takambang Jadi Guru itu yang muncul pemikiran-pemikiran serta ide-ide yang bersama baik untuk memenuhi kebutuhan hidup, maupun yang berhubungan dengan masalah-masalah yang timbul di tengah masyarakatnya dimana ketika itu masyarakat yang masih terbatas jumlahnya, belum begitu banyak tuntutan kehidupan , belum ada penyimpangan yang akibatnya sempat buruk, belum ada tuntutan kehidupan yang berlebihan. Seluruh masyarakat ketika itu hidup dalam keadaan berkecukupan dan tenang yang sehari-harinya adalah suka ria.
Dengan kepintaran serta kecerdasan ketika itu dan masyarakat yang belum sepadat sekarang,beberapa orang yang di tuakan tersebut tentu adalah orang-orang yang lebih baik dan lebih pintar dari yang lainnya, dan orang yang di tuakan itu sehari-harinya tentu lebih banyak mengurus kepentingan masyarakat dan mengatur masyarakat agar kehidupan masyarakatnya sehari-hari hidup dalam rukun dan damai serta tidak ada masalah yang tidak terselesaikan. Sesuai dengan kebutuhan hidup ketika itu , wilayah kampuang cukup luas, masyarakatnya cukup banyak dan telah melalui beberapa generasi, dan lapisan masyarakatnya sudah banyak macam, maka tentu dari para cerdik pandai atau tuo-tuo kampuang itu timbul keinginan dari kebutuhan yang sudah membutuhkan adanya aturan-aturan yang akan mengatur serta akan menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat pada kampuang tersebut. Maka tuo kampuang atau cerdik pandai waktu itu berdasarkan kesepakatan mereka bersama di cetuskanlah aturan-aturan apakah itu aturan suruhan atau aturan larangan dan juga karena kampuang itu cukup besar dan masyarakatnya cukup banyak yang sudah membutuhkan sarana atau tempat-tempat untuk mereka melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama atau ramai-ramai, maka kampuang-kampuang itu yang di pimpin / di kepalai oleh tuo kampuang di buatlah sarana dan prasarana kepentingan / keperluan umum seperti tempat mandi bersama di buat pincuran di tempat air mengalir, sebuah tanah yang lapang di buatlah tempat orang berkumpul-kumpul atau bermain-main atau tempat orang bersenda gurau, kemudian di buat pula suatu tempat orang-orang bertemu untuk saling tukar menukar barang kebutuhan hidup sehari-harinya dari seseorang yang punya sesuatu di tukar kepada kepada orang yang punya sesuatu yang lain , dan orang yang tidak punya sesuatu itu yang akhirnya di sebut Balai, kemudian di sebut juga tempat orang banyak bisa berjalan secara tetap menuju suatu tempat yang di tuju yang kemudian di namakan jalan, jalan di buat menurut kebutuhan orang kampuang tersebut begitu juga banyaknya.
Kemudian kehidupan manusia, kebutuhan semakin hari kian berkembang juga, maka aturan-aturan yang di buat oleh cerdik pandai tadi di tingkatkan karena masyarakat kampuang itu yang sudah terdiri dari berbagai kelompok yang tadinya berasal dari bagian kelompok kecil, di buat lagi aturan-aturan yang lebih mendasar dan lebih terarah yang akhirnya kemudian di sebut aturan itu sebagai Adat. Ketika aturan itu yang salah lebih di sempurnakan, maka di butuhkan pada suatu tempat untuk melakukan suatu pertemuan oleh cerdik pandai atau tuo kampuang itu dalam membuat suatu aturan baru atau mengambil kesepakatan atau untuk mengambil suatu keputusan, maka tempat itu kemudian dinamakan Medan Nan Bapaneh, yaitu sebuah tempat untuk rapat atau musyawaroh dalam mengambil suatu kebijakan.
Maka kampuang itu yang penduduknya semakin banyak dan terdiri dari berbagai kelompok, lalu aturan yang di buat untuk mengatur masyarakatnya dinamakan Adat, lalu kalau adapt sudah di susun maka bagian kelompok itu dinamakan Suku, dimana suku-suku itu sudah dipakai sejak moyang mereka di kampuang yang baru tersebut walau belum dijadikan bagian dari aturan kampuang tersebut.
Maka di kampuang yang baru itu yang sudah tersusun dan tertata sedemikian rupa, tepian indah, tanah lapang / gelombang orang ramai sudah, jalan sudah dibuat dan diatur, adapt sudah dicetuskan Medan Nan Bapaneh tempat rapat juga sudah, suku juga sudah diatur, maka akhirnya bersepakatlah para tuo kampuang tadi atau cerdik pandai untuk menamakan kampuang itu sebuah Nagari.
Sebuah nagari dalam segala pendukungnya telah terbentuk yaitu, tepian gelombang orang ramai, jalan yang teratur, Medan Nan Bapaneh adapt beserta sukunya.Itulah sebuah nagari yang menjadi cikal bakal atau nagari dimasa dahulu yang mana ketika itu nagari tersebut dipimpin oleh seorang pimpinan yang dinamai Kapalo Nagari dimana pimpinan itu dipilih dari kalangan cerdik pandai atau tuo-tuo kampuang tersebut.
Nagari yang dalam proses tersebut diatas adalah nagari yang merupakan pengembangan serta perluasan daerah / wilayah ketempat yang baru yang sama sekali tempat yang belum dihuni manusia atau masih berbentuk hutan belantara, terjadinya perpindahan sebagian orang ketika itu adalah disebabkan masih luasnya hutan yang belum dikuasai orang dan semakin bertambah banyaknya jumlah penduduk disekitar Nagari Tuo Pariangan, pengembangan itu berlangsung kearah barat dimana hutan arah barat tersebut dibabat dengan pedang panjang secara beramai-ramai, kemudian dinamai tempat baru itu Padang Panjang, ke timur juga beberapa rombongan membuka tempat baru, hingga dalam rentang waktu ratusan tahun atau puluhan generasi setelah dari priangan tersebut muncul nagari-nagari seperti Nagari Tabek, Limo Kaum, Tanjuang, Supayang, kemudian Pagaruyuang serta Minang Kabau dan kemudian Sungai Tarab.
NAGARI DALAM TATANAN DAN SISTEM.
Nagari dalam tatanan yaitu suatu susunan yang ditata serapi dan sesempurnanya dikatakan sebuah nagari itu tentu adalah suatu keadaan yang mempunyai sarana dan prasarana, sehingga dengan demikian nagari itu punya standart, punya acuan, dinyatakan komplit serta lengkap, dan akan memberikan tempat serta kesempatan kepada anak nagari untuk berbuat dalam rangka mendapatkan semua hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari apakah itu menyangkut Sosial Budaya, Ekonomi, Kesempatan dalam segala hal, pendidikan informal yamg ada ketika itu serta perlindungan secara lahir dan bathin.
Suatu Nagari itu tertata dimasa lalu, didominasi oleh orang-orang yang tahu dan memahami seluk beluk adat, bahkan aturan yang berbentuk hukum maupun dinamakan hukum adat atau undang-undang adat.Dalam hal undang-undang adat yang dalam pelaksanaannya, peraturan yang mendasar itu, telah dicetuskan oleh moyang orang minang kabau yang bernama Dt.Katumanggungan dan Dt.Parpatiah Nan Sabatang.
Ketika minang kabau ini belum didatangi oleh orang luar seperti Portugis, Inggris dan Belanda, maka masyarakat anak nagari di minang kabau hidup dalam kejayaan serta makmur dan dalam keseluruhan wilayah yang semula dinamakan Luhak Tanah Data tatanan kepemimpinan dan tatanan kehidupan sehari-hari dipimpin oleh para Raja yang di nagari oleh Dt.Katumanggungan dan Dt.Parpatiah Nan Sabatang, yang kemudian juga luhak tersebut di perluas kearah utara dan timur yaitu Luhak Agam dan Luhak 50 Koto, ketiga luhak inipun dipimpin oleh raja-raja dari keturunan Pariangan yang kemudian menetap yang namanya Nagari Pagaruyuang Tatanan yang sudah luas dengan kepala pimpinan yang semakin besar itu juga meluaskan daerah / wilayah kekuasaannya hingga ketimur sampai ke Durian di Takuak Rajo, keutara sampai Muara Mahek bahkan berkemban g hingga danau Bingkuang dan selatan sampai Lunang Silaut bahkan Muko-muko, begitu tatanan dan system pemerintahan adapt ketika itu yang dipimpin oleh Rajo sebelum masuknya penjajahan bangsa asing ke nagari-nagari minang kabau.
Nagari dalam system, pada masing-masing nagari di minang kabau bahkan ditiap luhak bisa berbeda system yang dipakai, tetapi pada dasarnya system dalam sebuah nagari pada pokok prinsipnya sama, yaitu suatu kampuang dinamakan nagari, pasti ada suku, ada adapt istiadatnya dan ada wilayah sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya system tersebut.
Syetem pada sebuah nagari sesuai menurut adat lama sebelum adanya ajaran islam, dijalankan menurut Alur dan Patut, kemudian sekitar abad XII Masehi masuk islam kedalam masyarakat minang kabau dan diterima oleh pimpinan serta masyarakat, kemudian disesuaikan system kepemimpinan tersebut dengan dasar Syarak Mangato Adat Mamakai, kemudian dengan penuh kearifan pimpinan adapt beserta raja-raja yang mana ketika itu juga disesuaikan peranan para raja tersebut dengan system itu yakni disebutkan ada Raja Adat dan ada Raja Ibadat, lalu kedua raja itu meletakkan fondamen system pemerintahan tersebut serta menetapkan dasar falsafah hidup menjadi sumber hukum dan peraturan-peraturan berikutnya yaitu “ Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah “ dan “ Syarak Mangato Adat Mamakai “, dari falsafah hidup masyarakat minang kabau seperti diatas tersebut maka lahir unsure pimpinan baru dalam system pemerintahan adat tadi yaitu disebutkan sebagai Tigo Tungku Sajarangan dan Tigo Tali Sapilin yang merupakan pimpinan formal dimasa lalu hingga sekarang dan sampai nanti, ketiganya yaitu dari kaum adat namanya Niniak Mamak, dari kaum agama yaitu Alim Ulama dan dari orang yang dipandang atau yang dituokan atau orang yang dianggap pintar dalam nagari disebut Cadiak Pandai .
Maka nagari dalam tatanan yang memang sudah ditata sedemikian lengkap dan system yang telah dibuat dan disusun oleh moyang orang minang kabau sempatlah sempurna tergantung pemakaian dan pelaksanaan oleh orang-orang minang kabau sendiri , pada umumnya dan lebih khususnya di nagari masing-masing yang juga ada nilai-nilai tersendiri melengkapi dan lebih menyempurnakan tatanan serta system tersebut untuk masing-masing nagari sebagai mana disebutkan Adat Salingkuang Nagari .
NAGARI SUMANIAK MASA LALU
Kita berbicara tentang Nagari Sumaniak dan masa, atau sejak dahulu sampai sekarang kemudian kedepan. Penulis sengaja membuat tulisan ini berdasarkan sejarah atau cerita dari para orang tua, bukti jauh bisa di tunjukkan dekat bias di kakokkan dan penulis yang mempelajari sendiri bagaimana mengenal, memahami serta menyikapi sumaniak ini secara keseluruhan dari semua perspektif dan inipun lahirnya tulisan ini adalah merupakan kepedulian penulis setelah menjalani dan memasuli sumaniak itu secara utuh dan keseluruhan, sesudah itu timbul pertanyaan tentang sumaniak esok.
Pada tulisan ini saya penulis mengajak anda mereview kemasa lalu ketika kita pernah bahkan sering mendapat kata sumaniak jaya, dari mana, dimana, kemana dan mengapa sumaniak jaya itu ?. Saat ratusan tahun lalu, saya mengatakan demikian karena nagari sumaniak ini berdasarkan pengamatan fakta, sejarah objek-objek yang ada dan lain-lain sebagai pemahaman dan pengenalan masa lalu saya berkesimpulan bahwa Nagari Sumaniak sudah ada sejak ± abad ke XIV Masehi karena kita bias membaca sejarah perjuangan misalnya seperti adanya H. Sumaniak yang bersama-sama dengan H. Piobang, H.Miskin, ketika remaja beliau pergi belajar ke Mesir, kemudian H. Sumaniak itupun tentu telah punya keluarga dan generasi yang ada sebelum dia. H,Sumaniak bergabung dengan perang Paderi ± tahun 1821 ketika itu beliau sudah berusia tua dan di Nagari ini tentu sudah tertata secara perkampungan yang di sebut Nagari. Dari sisi lain Makhudum Syah sudah berada di Nagari Sumaniak mulai dari sekarang ada 10 generasi diatasnya, sedangkan jauh sebelum Makhudum Syah datang ke Sumaniak Nagari ini juga sudah terbentuk dan tertata baik, penjajahan Belanda juga berlangsung 350 tahun dan bagaian dari penjajahan Belanda adalah sampai ke Nagari Sumaniak dengan bukti-bukti beberapa pejuang yang orang nagari sumaniak ikut dalam melawan penjajah tersebut.
Pemahaman lain bahwa seperti fenomena tua yang ditanam dikebun-kebun seumpama pohon kelapa yang pernah beberapa batang saya lihat, pohon kelapa yang paling tua, paling tinggi itu pernah ditebang lalu saya coba menghitung langgam pelapahnya yang mana satu lefel katon adalah satu ( 1 ) tahun, saya pernah ulang hitungnya sampai hamper 300 langgam, ini menunjukkan pohon kelapa telah ditanam masyarakat dimana yang ada masih tumbuh sekarang saja ada yang berumur hampir 300 tahun dan tentu setalah itu juga sudah ada pohon kelapa yang lebih tua dari itu dan sudah matau ditebang.
Dari segi nagari ini yang mempunyai lambang-lambang adat seperti Balai-balai KAN sekarang yang dibangun sekitar tahun 1930an dan sebelah balai-balai yang pada posisi sekarang, balai-balai itu terletak bagian utara disamping tugu yang ada pada saat sekarang dari itu pun sebelum adanya took tinggi yang sudah dibongkar dan diganti dengan petak toko permanen sekarang, sebelum balai-balai dilokasi bagian utara tugu yang ada sekarang tersebut, balai-balai ini berada ditempat Exs. Rumah bak air sekarang yang sebelumnya los tempat penjual daging dan disitupun ada tumbuh pohon kayu besar dahulunya, artinya sejarah adanya balai-balai tersebut sudah cukup panjang dari 3x perpindahan tersebut, sedang awalnya generasi yang masih hidup sekarang tidak pernah melihat balai-balai yang pertama tersebut kemudian sejarah dari orang tuo-tuo mengatakan tempat yang namanya Koto Tuo yaitu dari simpang parak gadang arah sungai tarab atau sekitar pancuran kubang adalah koto tertua atau tempat sekumpulan moyang orang sumaniak berdiam dari bagian selatan Nagari ini, disini asal nagari ini mulai disusun sesuai dengan langkah-langkah perkembangan dimasa itu yaitu dimulai dari baguguak, bakoto, bataratak, bakampuang kemudian bakapalo koto yang merupakan bagian kelompok moyang yang memulai menyusun kampong dari arah utara begitu juga ikue koto dan sampai ke koto padang.
Sebagaimana yang disebutkan diatas bukti sejarah awal perkampungan yang tertua itu disebabkan perkembangan , perluasan serta kemajuan tingkat kehidupan masyarakatnya sudah tidak dapat lagi dilihat bekas kampuang tua tersebut, kecuali sebuah pancuran dan tempat mandi yang bernama Pancuran Kubang yang menjadi tapian oleh orang-orang yang berada di Koto Tuo dahulunya.Tidak dapat dilihat sekarang bukti-bukti Kampuang Tuo tersebut adalah karena, masyarakat semakin banyak, kebutuhan tempat tinggal tidak lagi sekedar untuk berteduh , perekonomian semakin baik dan berkembang, tingkat kecerdasan orang-orang juga semakin maju bahkan ditambah dengan pengaruh dari luar yang sudah masuk sehingga orang-orang banyak mencontoh dan membuat sesuatu keadaan kampuang tersebut tidak tidak lagi asli sesuai karakter awalnya. Kampuang-kampuang asli itu sudah berobah dipengaruhi keadaan kampuang-kampuang diluar yang telah lebih dahulu melakukan perubahan-perubahan yang drastis.
Dari bukti tersebut diatas jelas rentang waktu yang dibutuhkan dalam proses perubahan tersebut bukan dalam waktu yang singkat atau 1 dan 2 generasi, menurut hemat saya prose situ berjalan lebih dari 10 generasi, karena kita hari ini sudah tidak melihat lagi sedikit keadaan masa lalu itu dengan mata kepala kita.Bukti lain, sebelum Makhudumsyah tinggal dan berdiam di Sumaniak bahkan pernah menyelesaikan sengketa antara masyarakat sumaniak / Pemuka Sumaniak dengan penguasa Sungai Tarab Engku Titah, yang mana perdamaian dan penyelesaian sengketa itu dilakukan di Kubang Baraliah nama tempatnya atau dijalan Simpang Jawa Guguak Tinggi sekarang atau disekitar Gardu PLN sekarang . Kubang Baraliah dengan sebatang pohon besar ditengah Kubangan , hari ini tidak lagi tercermin didaerah itu artinya kubangan dan pohon besar itu sudah sempat lama tidak ada dan keadaan tempat itu sekarang sepertinya keadaan biasa dan perubahan menjadi keadaan sekarang tentu juga melalui proses waktu yang cukup panjang, dan Makhudumsyah yang pertama itu sebelum dia tinggal dan berdiam di sumaniak telah melalui proses waktu ± 10 generasi berlalu, artinya juga ratusan tahun kejadian itu telah berlalu sejak sekarang.
Dari semua bukti-bukti sejarah dan fakta tersebut diatas maka dapat sebuah kesimpulan bahwa peradaban masyarakat nagari sumaniak ini telah dimulai ± 800 tahun yang lalu, sejak moyang kita itu manconcang malateh, baguguak, bakato, bataratak dan bakampuang yang kemudian menjadi nagari, nagari yang pada mulanya 6 suku dan kemudian dengan kehadiran makhudumsyah nagari sumaniak dibuat system adatnya balaras duo, laras Bodi Caniago basuku anam untuk didalam nagari dan laras Koto Piliang basuku ampek untuk dipopulerkan keluar dari nagari.
Menurut sejarah tutur kata secara turun temurun dan tidak dituliskan, cikal bakal orang sumaniak adalah berasal dari nagari Sungai Tarab, ketika itu nagari Sungai Tarab yang sudah juga dipimpin oleh seorang Rajo yang merupakan satu dari Basa Ampek Balai di Pagaruyuang, dan nagari ini penduduknya sudah sangat banyak untuk ukuran nagari waktu itu serta sudah jaya dan kehidupan masyarakatnya sudah sejahtera. Menurut tutur kata dari cerita ada sebagian orang Sungai Tarab waktu itu yang disebut sebagai Parewa atau orang-orang pembangkang, dan sebagian tutur kata mengatakan adalah sekelompok orang-orang yang ingin berpindah untuk mencari lahan dan tempat baru, nama dari kedua versi tersebut yang pasti ada kelompok orang Sungai Tarab tersebut pergi mencari daerah baru dan mereka berjalan keutara dari nagari Sungai Tarab itu yang masih merupakan hutan belantara dan belum ada orang yang mengolahnya.Kelompok yang berpindah itu dalam perjalanannya menemukan sebuah batang air / sungai kecil dan sebagian tinggal disini dan sebagian lagi meneruskan perjalanannya dan kemudian kelompok ini juga menemukan sebuah batang air / sungai kecil, lalu mereka berdiam dan tinggal juga disana. Dari kelompok pertama tadilah yang mereka memulai membuka lahan dengan mancancang malateh manaruko yang akhirnya disini awal sebuah taratak yaitu kemudian dinamakan Koto Tuo, dari kelompok yang kedua itu juga mancancang malateh dan manaruko, kemudian melahirkan taratak kedua dengan kapalo koto-ikue koto sampai ke koto padang, kemudian juga kedua taratak ini semakin meluas jadilah kampuang dan akhirnya dijadikan nagari.
Nagari yang awalnya disusun oleh pemuka-pemuka masyarakat dan Tuo-tuo kampuang serta orang-orang yang dipandang waktu itu dan diatur dengan aturan adat serta dipimpin oleh orang petinggi / dituakan dalam adat saat itu sampai datangnya Makhudumsyah dan dibantu menata nagari , menata adat agar lebih sempurna dan diatur juga system kepemimpinan dalam nagari waktu itu, Tuanku Makhudumsyah juga menetapkan laras nan duo suku ampek koto tigo sebagai dasar menjalankan kepemimpinan Adat masa itu ( karena belum ada system pemerintahan nagari ). Laras nan duo yaitu Laras Bodi Chaniago yang menjalankan prinsip musyawarah dan mufakat dan Laras Koto Piliang Titiak Dari Ateh Bajanjang Naiak Batanggo Turun Laras Badi Chaniago Basuku Anam untuk pelaksanaan system adat kedalam untuk nagari sedangkan Laras Koto Piliang Basuku Ampek untuk dikatakan kepada orang diluar nagari.
Didalam Laras Bodi Chaniago dikenal pimpinan suku sebagai Penghulu Pucuk dan dalam system kerapatan atau musyawarahnya dikenal datuk nan batujuh yang merupakan symbol kebesaran adat nagari disebut juga Bintang Tujuh Nampak Enam, dan dalam Laras Koto Piliang yang memakai prinsip adat kerajaan / barajo dikenal datuk nan barampek merupakan anak rajo dalam system yang ada ditiap suku nan ampek dan juga merupakan mewakili badan diri Tuan Makhudumsyah disuku masing-masing nan ampek tersebut.
Sebelum Tuan Makhudumsyah ada di sumaniak dan setelah adanya Tuan Makhudumsyah dinagari sumaniak dimana kedudukannya adalah “ malambangkan Basa Ampek Balai “ sedang kalau di Pagaruyuang beliau adalah Basa Ampek Balai dan Rajo dibidang adat kusuik manyalasai karuah manjaniah sangketo adat dialam Minang Kabau. Untuk kepemimpinan nagari dikenal sebagai Datuak Palo / Kapalo Nagari yang merupakan orang-orang adat yang dipilih untuk pimpinan tersebut, masa itu berlangsung sebelum zaman penjajahan Belanda sampai awal kemerdekaan, dan setelak kemerdekaan yang awalnya ada pemerintahan negara maka oimpinan nagari disebut sebagai kapalo nagari kemudian berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang disesuaikan untuk itu pimpinan nagari itu disebut Wali Nagari.
Dimasa sebelum penjajahan itu aturan adat sempat dominant ditengah masyarakat karena aturan itu dibuat dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat suatu nagari tersebut, sedangkan setelah adanya penjajahan Belanda antara Nagari ebih dipengaruhi oleh kepentingan penjajah dan setelah merdeka aturan yang berjalan di sebuah Nagari lebih luas dan bersifat umum untuk wilayah Minang Kabau.
Ketika aturan Adat dalam Nagari dominant sebelum pemjajahan masyarakat hidup sangat Harmonis, sejahtera, ekonomi masyarakat, sudah memberikan ketenangan hidup, tetapi penjajahan masuk kehidupan masyarakat mulai terganggu karena telah dimasuki dan dirasuki kepentingan penjajah, masyarakat yang tadinya ramah – tamah mulai disebut, masyarakat yang sebelumnya damai mulai diadu domba, Perekonomian yang tadinya baik dengan hasil yang melimpah ruah mulai dirampas oleh penjajah, masyarakat yang mulai Cerdik dan Pintar di bodohi dan dikekang oleh penjajah akhirnya masyarakat Nagari terpecah belah serta memulai hidup dalam cengkraman penjajah.
Nagari Sumaniak yang subur ± 850 meter diatas permukaan laut dengan hutan yang masih menyegarkan, tanahnya sangat baik ditanami tanaman tua, tanaman muda, sawah – sawah yang berjenjang bagai tersusun dari yang tinggi sampai ketempat rendah air yang lebih dari cukup mengaliri sawah dan menghasilakan padi melebihi kebutuhan makan, tanaman muda lainnya dihasilakn dari sawah dengan hasil yang berlebih – lebih hingga dapat dijual dan untuk meningkatkan taraf hidup, tanaman tua seperti cengkeh, kopi, kayu manis, kelapa dimasa itu sangat memberikan keuntungan untuk hidup lebih sejahtara. Jumlah hasil panen yang berlebihan debgan jumlah penduduk yang masih sedikit menjadikan masyarakat hidup makmur, bahkan balai Nagari Sumaniak yang didakan hari Minggu yang sempat ramai waktu itu, balai terbesar dari Balai – balai yang ada di Nagari sekitar, bahkan balai sumaniak menjadi tolak ukur dan Barometer ekonomi masa lalu, balai sumaniak yang kesohor sampai ke situjuah dan Barulak serta Tungkar dan orang dari sana berjalan kaki pergi ke Balai Sumaniak, bahkan dari nagari sekitar sekeliling Nagari Sumaniak satu – satunya Balai Sumaniak telah punya rumah potong hewan yang mana setiap hari Balai disembelih sampai 8 – 10 ekor Kerbau yang dagingnya habis di hari Balai tersebut. Balai sumaniak yang dilengkapi rumah potong yang didirikan pada tahun 1916 masih dapat dilihat bukti dan dan bekasnya dekat Balai Ahad sekarang yang sudah tidak terpakai lagi dan menjadi bukti sejarah kejayaan Balai masa lalu di Nagari Sumaniak.
Dari sisi ekonomi kemasyarakatan terutama pertanian apakah pertanian tua atau tanaman muda, sumaniak termasuk penghasil yang hasil taninya, productifitasnya tinggi seperti tanaman tua cengkeh sebagai hasil yang primadona dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mengangkat kesejahteraan, mungkin membangun rumah,membeli perabotan, membeli lahan pertanian atau pendidikan serta kesehatan dan juga tak kalah penting bisa untuk merencanakan pergi menunaikan Ibadah Haji, tanaman tua lain yang juga punya hasil yang baik kopi dan kayu manis serta kelapa sebagai lahan konsumtif tapi masih bisa menjual. Dari tanaman muda seperti padi, kacang dan jagung juga merupakan hasil yang terbaik yang juga dapat dijual setelah dipergunakan untuk konsumsi, sehingga masa lalu nagari sumaniak termasuk penghasil beras dalam skala besar, dari hasil tani tersebut dapat meningkatkan Standar Ekonomi masyarakat sehingga dapat dikatakan sumaniak di Era sebelum tahun 60-an masyarakat hidup sejahtera dengan standar ekonomi diatas nominal. Hasil pertanian lain yang tidak kalah penting adalah ternak, yang mayoritas dipelihara adalah sapi, sebagian kerbau dan kambing serta ayam atau itik, dari ternak yang dipelihara diistilahkan sebagai tabungan karena rata-rata dijual umur 1-2 tahun.Sumber perekonomian masyarakat Sumaniak dimasa lalu juga dengan berdagang dimana orang sumaniak banyak merantau sejak era sebelum kemerdekaan dan setelah merdeka semakin banyak orang sumaniak pergi merantau untuk mencari reski yang lebih karena prinsip orang sumaniak hidup dirantau jauh akan lebih tinggi semangat juang dari pada hidup dikampuang, karena berjuang dirantau dengan sarana yang serba tidak tersedia yang milik kita, sedang kalau dikampuang sarana yang serba ada milik kita akan menjadikan semangat juang mendapatkan menjadi kecil.
Sebagai pegawai Negeri atau Swasta, orang sumaniak yang pergi merantau itupun cukup banyak dan itu terdapat disemua kesempatan, mungkin diperkantoran, Guru, bidang agama bahkan dipanggung politik ataupun sebagai Teknokrat, sebagai ulama, orang sumaniak juga banyak berperan mulai dilevel bawah, menengah dan level atas. Anak nagari sumaniak sejak tahun 50-an telah banyak berperan secara nasional disegala disiplin ilmu, semua itu membuktikan bahwa nagari sumaniak yang anak nagarinya telah jauh-jauh hari meraih, menggapai kemajuan, sehingga dapat disebut maju dan jayanya orang sumaniak tidak dadakan dan tidak mendapat Durian Runtuh tapi telah terencana dan disikapi sejak dahulu kala . Dari segi adat budaya dan nilai-nilai tradisional, masyarakat nagari sempat peduli dalam pelaksanaan dan pelestariannya, system adat nagari sumaniak memiliki keunikan dibanding nagari lain pada umumnya, disebabkan di sumaniak juga ada Tuanku Makhudumsyah, dengan demikian nagari sumaniak secara Adat Salingkuang Nagari punya kebesaran tersendiri dan mempunyai nilai-nilai khusus seperti telah menjadi dasar-dasar fondamental nilai-nilai Adat mutu nagari yaitu :” Balaras Nan Duo, Basuku Ampek dan Bakato tigo”.
Nagari sumaniak sebagai nagari beradat dan ada tuanku Makhudumsyah di nagari sumaniak selaku payung panji Marawa Basa atau malambangkan Basa Ampek Balai di sumaniak, beliau telah mengatur, menyusun serta melindungi system adat istiadat nagari dan telah membuat sumaniak menjadi sebuah nagari yang besar, padahal sumaniak berdiri setelah Sungai Tarab, Pasir Lawas, Kumango, Padang Laweh dll, Nagari sumaniak sejajar bahkan dari satu sisi lebih dari nagari sekitarnya dan sumaniak dahulu tidak menjadi nagari Kapak Radai Sungai Tarab. Tuanku Makhudumsyah juga mengatur tata letak dan tata ruang wilayah nagari, mengatur system pemerintahan Adat serta mengatur prosesi batapak penghulu serta perjalanan Adat dalam kehidupan sehari-hari dengan prinsip 2 kelarasan yaitu Adat Barajo dan Adat Banagari, yang dimaksud Adat Barajo adalah titik dari ateh artinya : Titah dari Rajo turun ka Mamak, dari Mamak turun ka Kamanakan, Kamanakan manarimo dengan sendirinya, yang dimaksudkan bajanjang turun, dan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, penghulu barajo ka nan bana, bana badiri dengan sendirinyo, itu adalah bajanjang naik yang pelaksanaannya ke rumah Gadang Rajo, sedang Adat banagari dengan memakai prinsip Bodi Chaniago yaitu musyawaroh dan mufakat sebagai mana prinsip hidup berdemokrasi yang difasilitasi oleh Datuak Nan Batujuah dan pelaksanaannya di Balai-balai. Kemudian fungsi suku serta pemangku Adat juga ditetapkan oleh Tuanku Makhudumsyah seperti kelarasan Koto Piliang ada suku ampek yaitu Piliang Laweh, piliang Sani, Koto Piliang, Mandahiling dimana fungsi suku dalam Adat, orang suku Piliang Laweh dan suku Piliang Sani adalah aluran Adat, sedangkan orang suku koto Piliang dan orang suku Mandahiling aluran Syarak, keduanya bak Aur dengan Tebing sanda manyanda kaduonyo yaitu Syarak mangato Adat mamakai.
Dalam Laras Bodi Chaniago yang memakai prinsip musyawaroh dan mufakat dibalai-balai dengan suku 6 yaitu Piliang laweh, piliang Sani, Bodi Chaniago, Koto, mandahiling Kampai, Mandahiling Panai dengan peran serta fungsi penghulu pucuk sebagai pimpinan suku yang enam dikatakan juga Bintang Tujuh tampah Enam, karena yang ketujuh adalah Datuak Kakoyan Marajo yang bukan penghulu pucuk suku tapi punya peranan penting dalam musyawaroh mufakat di Balai-balai yaitu selaku penghubung kebijakan antara Laras Bodi Chaniago dan Laras Koto Piliang dan juga punya kekuasaan mengurus rumah tangga Rajo atau dirumah gadang.
Kedudukan dan fungsi suku yang enam juga sudah diatur dan ditetapkan oleh Tuanku Makhudumsyah yaitu 3 dibidang Adat dan 3 dibidang syarak, 3 dibidang Adat tersebut yaitu : Orang suku Piliang Laweh adalah haluan Adat, orang suku Piliang Sani adalah Kerajaan Adat, orang suku Bodi Chaniago kemudi Adat, dan 3 dibidang Syarak adalah Koto Piliang adalah Imam Adat, disinilah dijalankan falsafah hidup yang mengatakan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, maka dari sini juga lahirlah kedudukan serta fungsi tigo tungku sajarangan dan tigo tali sapilin, 3 di Adat, 3 diSyarak dan ketiganya hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, memimpin, mengurus, melindungi masyarakat dan disebut : Niniak Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama, ketiganya seiring sejalan bagai fungsi 3 buag batu tungku yang harus sama manfaatnya.
Begitulah Tuanku Makhudumsyah bersama pimpinan informal nagari ini telah mengatur, membina dan melindungi anak nagari sehingga hiduplah anak nagari sumaniak ini dengan teratur, aman serta tertib dan kehidupan sosial ekonomipun menjadi baik dan sejahtera, dan masa itu telah berlangsung berabad-abad hingga hari ini .
Dari segi kepemimpinan nasa lalu dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan dimana nagari ini dipimpin atau dikepalaai oleh seorang yang karismatik atau pimpinan infofmal, system kepemimpinan nagari sumaniak sebagaimana yang sudah disusun oleh Tuanku Makhudumsyah, bahwa nagari dalam system pemerintahan Adat, sedangkan unsure pimpinan tersebut berasal dari 3 tungku sajarangan yang kemudian diantaranya dipilih dan ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah dinamakan Datuak Palo. Dimasa lalu hingga sampai masa kemerdekaan kelembagaan yang sudah ada dan telah menjadi formal di tengah-tengah masyarakat bernagari adalah kerapatan Adat Nagari maka Datuak Palo tersebut adalah perpanjangan tangan dari manifestasi kelembagaan KAN dimana disitu bernaung ketiga formalitas pimpinan yang di katakana tiga tungku sajarangan tadi. Datuak Palo yang merupakan pimpinan nagari dimana dia adalah bagian dari anggota Kerapatan Adat menjalankan pemerintahan Adat nagari dan masa sebelum kemerdekaan tersebut masih berjalan secara independent dan semua pembiayaan dibiayai oleh anak nagari secara iuran dan berbentuk pungutan-pungutan lain sedangkan Datuak Palo sendiri bekerja benar-benar bersifat pengabdian kepada nagari dan masyarakatnya. Penghasilan masyarakat dari pertanian masih melimpah ruah, peternakan dan hasil tanaman tua masih memberikan harapan sehingga berbagai iuran dan pungutan yang dibebankan kepada masyarakat tidak terasa memberatkan.
Ketika kemerdekaan Negara Repoblik Indonesia dalam negara kesatuan system pemerintahan ini disebut pemerintahan nagari yang dikepalai dengan sebutan semula kepala nagari, kemudian ditahun 50-an disebut Wali Nagari. Wali Nagari dimasa kemerdekaan menjalankan kepemimpinan nagari bekerjasama dengan LKN atau Lembaga Kerapatan Nagari yang kemudian dirobah namanya Lembaga Pemusyawaratan Nagari. Pemerintahan Nagari berjalan berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, kemudian diganti dengan UU No.5 Tahun 1979 dan system pemerintahan nagari dirobah menjadi pemerintahan desa. Satu nagari dibagi menjadi beberapa pemerintahan desa, tergantung kepada jumlah penduduk dan luas wilayah sebuah nagari ada 2, 3, 4, 5 dan seterusnya dan dalam pelaksanaan kebijakannya pemerintahan desa dibantu oleh LKMD selaku mitra kerjanya, tujuan utama dibentuknya system pemerintahan desa adalah mempercepat proses pembangunan sebab sebelumnya satu nagari satu pemerintahan berarti memperoleh satu bantuan dari pemerintah diatas, sedangkan dengan system beberapa desa dalam nagari itu maka akan mendapatkan bantuan pembangunan sejumlah pemerintahan desa yang ada. Dalam pelaksanaan system pemerintahan desa tidak mengenal kewenangan otonomi atau kebijakan public semua kebijakan telah diatur dari atas menurut Hirarki structural sehingga dengan demikian masyarakat tidak punya otoritas dalam menentukan berbagai kebijakan kecuali hanya berbentuk formalitas untuk memenuhi dan menutup adanya kesenjangan kebijakan, sehingga akibat system pemerintahan desa tersebut otoritas kepemimpinan yang informal sebagai masyarakat bernagari seperti 3 tungku sajarangan tidak bias berbuat banyak, karena berbagai kepentingan telah dijalankan oleh kepala desa. Perjalanan masa yang disebut sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1979 adalah system pemerintahan paradok dari pemerintahan Nasional yang disebut Orde Baru, dimana lahirnya pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan presiden Soeharto adalah hasil kontradiksi dan kontrareaksi dari pemerintahan yang disebut Orde Lama dibawah pimpinan presiden Soekarno yang telah terkontaminasi dengan rezim komunis yang bermuara dengan meletusnya G30SPKI 30 September 1965. Perjalanan Orde Baru yang di Sumatera Barat atau lebih tepatnya untuk nagari sumaniak pemerintahan desa semula dibentuk 5 desa didukung Perda 13 / 83, yang berjalan hampir 10 tahun, kemudian belajar dari sebab dan akibat yang berkembang di nagari dari 5 pemerintahan desa direkrut menjadi 2 desa. 5 desa tersebut, 4 desa nama suku dan satu Desa Limo yang juga Imlementasi dari 5 jorong setelah adanya desa, yaitu pemerintah Nagari sebelumnya, kemudian 2 desa rekrut tersebut adalah Desa Sumaniak dan Desa Limo, perjalanan masa dari 2 desa tersebut ± 1 Tahun atau tiga kali periode kepala desa. Selama perjalanan pemerintahan desa tersebut di Nagari Sumaniak telah banyak terjadi perobahan – perobahan yang sangat drastic terutama sekali persatuan dan kesatuan anak Nagari, perubahan Paradigma atau cara pandang, perubahan social budaya anak Nagari , perubahan kultur dan histories yang disimpangkan, perobahan sosial Ekonomi, perubahan nilai – nilai moril dan sikap kerjasama, serta perubahan dari nilai – nilai norma masyarakat bernagari pada umumnya perubahan tersebut berlansung dalam kurun waktu panjang. Perilaku perubahan tersebut bergerak mju bagai api dalam sekam, hingga bila berlanjut kemasa yang sangat panjang maka kemungkinan yang akan terjadi adalah api dalam sekam itu telah membara semua sedang dilihat dari jauh tumpukan sekam sepert biasa saja maka kemungkinan yang akan terjadi tersebut adalah terciptanya masyarakat sekulerisme serta perpecahan satu kesatuan anak nagari yang semula adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Syistem pemerintahan desa yang dijalankan oleh kepala desa tidak lagi mengakomodir nilai – nilai adat budaya tradisi yang luhur dan telah terwarisi secara turun temurun, masyarakat hidup semakin individual, egois dan memaksakan kepentingan yang menguntungkan sepihak semata, tidak peduli dengan sikap pandang memandang kurang punya sikap penghargaan terhadap sesame sehingga tatanan hidup masyarakat Nagari yang disebut Koto Nan Ampek sudah hampir tidak terpakai lagi, baso jo basi dan pepatah Gulai Paku Kacang Balimbiang seperti tidak dikenal lagi, fungsi-fungsi dan peranan keminang kabauan sudah tak peduli lagi, nilai-nilai Adat Budaya sudah bergeser dan menjamurnya nilai-nilai kebarat-baratan yang katanya moderen, nilai-nilai moral dan Agama serta Budaya malu dan hormat sudah langka, cara-cara berpakaian serta sikap tampil ditengah-tengah masyarakat bergaya cuek atau tidak peduli. Semua itu terjadi karena antara satu pribadi dengan pribadi lain dan antara satu kepentingan dengan kepentingan lain atau suatu hubungan kekeluargaan dan kekerabatan anak Nagari atau orang asli Nagari itu tidak lagi didukung dan ditunjang oleh hukum formal atau informal, semua bentuk hubungan horizontal anak Nagari seperti dibiar tumbuh, berkembang, menjalankan tanpa diatur digiring dikontrol dan dibatas oleh suatu kekuatan yang Abstrak. Kehidupan di Nagari sudah sudah seperti diperkotaan, dimana masyarakatnya terdiri dari Multi Etnik dan macam-macam kepentingan. Masyarakat bernagari telah terkotak –kotak keutuhan kesatuan hokum Adat tidak jalan, Autoritas kepemimpinan informal atau tigo tungku sajarangan tidak berfungsi, nilai-nilai Adat Budaya dan tradisin sudah melemah, hubungan kekerabatan dan ikatan Emosional sudah merapuh, Budi pekerti sopan santun norma-norma masyarakat Nagari telah memudar, hubungan horizontal antar manusia tidak lagi memahami keseimbangan hak dan kewajiban. Kehidupan masyarakat telah mengglobalisasi, kehidupan masyarakat Nagari diambang kepunahan dari nilai-nilai kultur Nagari semua itu berlangsung satu generasi, bila diawali dengan suatu kelahiran anak manusia maka proses sekularisasi tatanan dan peradaban itu hingga usia dewasa dan mereka itulah yang berperan dimasa sekarang.
Klimax dari semua prosesi erosi system dan nilai-nilai peradaban itu tidak saja dirasakan di level Nagari bahkan menasional sehingga klimax atau meletusnya gejolak terpendam itu berujung dengan tuntutan reformasi secara Nasional dan dilevel Daerah seperti Sumatera Barat atau Minang Kabau menyikapi reformasi pemerintahan dengan kembali ke system pemerintahan Nagari dan mengembalikan otoritas masyarakat dengan memberikan dan menjalankan otonomi di daerah sampai ke tingkat Nagari.
UU No.22 / 99 mendukung otonomi daerah dengan kewenangan mengatur system pemerintahan terendah dan propinsi Sumatera Barat menyikapi dengan Perda No.9 / 2000 serta ditingkat kabupaten disikapi dengan Perda 17 / 2001 yaitu pelaksanaan pemerintahan Daerah Kabupatan dan Nagari bagian pemerintahan terendah di Kabupaten.
Masa transisi pemerintahan di Nagari Sumaniak dari pemerintahan Desa ke pemerintahan Nagari, ternyata tidaklah semudah membalik telapak tangan, sebagaimana telah di ceritakan diatas akibat-akibat yang ditimbulkan serta ekses-ekses yang telah menjalar, mengembalikan system sebenarnya mudah tinggal penyesuaian, tetapi mengembalikan Eksistensi, Komitmen serta Paradigma dan pola sikap hidup kepada aturan dan system semata, yang ternyata bertentangan dengan kemauan orang / manusinya ketika itu, memang sakit bahkan mendapat tantangan serta perlawanan yang didasari pemahaman sempat berbeda, dimana banyak anggapan perubahan itu bagi mereka disuatu tempat berarti surut kembali atau menghidupkan kembali paradigma lama yang sudah tidak sesuai dengan keinginan mereka yang hidup dimasa sekarang.
Tantangan dan perlawanan timbul karena mereka menganggap perobahan system itu berakibat pengekangan dan pembatasan hak serta merugikan terhadap kesempatan keadilan dan pemberdayaan sebagian masyarakat yang diwakilinya. Kemudian dengan cara-cara yang arif serta bijaksana tantangan dan perlawanan itu digiring sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku baik secara pemerintahan maupun secara informalitas Nagari akhirnya pelan-pelan semua berjalan sesuai aturan mekanisme serta rumusan kekeluargaan dan otoritas kadership Nagari.
Penulis adalah bagian dari masa transisi tersebut, dan menjalani semua proses persiapan-persiapan dan semuanya itu penulis jalani sehubungan dengan peranan serta fungsi penulis selaku parik paga Nagari dalam tatanan Adat Nagari Sumaniak. Dari semua proses peralihan tersebut ketika keputusan dan kesepakatan kembali kepada pemerintahan Nagari dapat dijalankan penulis terpilih selaku Pejabat Wali Nagari dilantik 9 Oktober 2001, yang sekaligus menjadi tugas utama Pejabat Wali Nagari adalah pembentukan BPRN pertama, kemudian bersama BPRN mempersiapkan pelaksanaan pemilihan Wali Nagari Definitif pertama pasca Orde Baru. BPRN Sumaniak pertama terbentuk dilantik 24 Juli Tahun 2002, kemudian dibentuk panitia pemilihan dan pelantikan Wali Nagari yang akhirnya penulis terpilih untuk menjadi Wali Nagari Definitif pertama di zaman Reformasiyang dilantik oleh Bupati Tanah Datar 10 Agustus 2002 untuk masa Bakti 5 Tahun.
Suatu Nagari dimana orang bermukim menetap, dijadikan sebagai tempat mencari nafkah disitu pula orang-orang melakukan proses melanjutkan keturunan atau generasi dan ditempat itu pulalah telah terjadi penurun temurunan manusia dan kehidupan, sehingga disebut juga bahwa disuatu Nagari itu telah hidup sekelompok orang yang punya asal usul berketurunan yang jelas dan telah terwarisi turun temurun sehingga ada perkiraan bahwa disuatu Nagari itu sejak Nenek Moyang mereka yang sudah tidak bisa dihitung lagi, mereka telah hidup melalui rentang masa yang panjang dan juga telah melalui Revolusi peradaban dan Expansi tatanan kehidupan, sehingga peradaban manusia di Nagari tersebut telah melewati berbagai peradaban yang secara spesifik disebut Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam ( SDM dan SDA ).
Kita libat Nagari Sumaniak dari sisi SDM atau Sumber Daya Manusia bahwa sejarahpun telah membuktikan diawal Abad 17 ternyata orang sumaniak telah merantau, seorang pemuda sumaniak pergi ke tanah Arab menuntut ilmu agama, beliau bermukim di Mesir bahkan menjadi Tentara Negara itu dalam waktu yang cukup lama disamping itu beliau mempelajari, mendalami Ilmu Agama Islam, selama beliau berada di Mesir itu bertemu pulalah dengan orang yang berasal tanah melayu ini bahkan orang Minang Kabau juga yang kemudian mereka digelari disana sebagai H. Miskin, H. Piobang dan H. Sumaniak, ketiga anak muda itu kebetulan bertemu disana dan sama-sama menjadi tentara Negara tersebut kemudian mereka bersepakat menyatukan cita-cita mereka yakni mendalami ilmu agama, belajar tentara yang terbaik serta ilmu perang kemudian mereka berjanji sama-sama kembali ke Negeri masing-masing untuk berjuang untuk membebaskan Nagari mereka dari penjajahan.
Ketiga haji itu telah kembali ke Nagari masing – masing dan bergabung berjuang dengan para pejuang yang ada di Nagarinya dan Minang kabau, sementara H.Sumaniak menurut sejarah dan fakta dapat ditunjukan makamnya, kemudian juga telah diakui oleh Pemerintah ebagai pejuang, Tokoh Masyarakat lain yang lahir di Sumaniak ini cukup banyak, begitu juga Tokoh Pendidikan baik formal atau non formal. Dari zaman penjajahan orang Sumaniak banyak bersekolah di Sekolah – Sekolah Belanda mulai tingkat SR atau HIS begitu juga disekolah Governemen, anak Nagari mendapatkan Pendidikan bukan saja hanya dari bangku sekolah, tetapi di kampung – kampung banyak anak didik di surau – surau bahkan mereka yang dididik disurau tersebut juga banyak yang berhasil dan menjadi tokoh serta pimpinan di masyarakat.
Setelah kemerdekaan kepedulian orang Sumaniak terhadap pendidikan demikian tinggi Karena dilator belakangi lahirnya tokoh – tokoh disegala bidang yang sudah banyak berperan dan memberikan konstribusinya dalam masa perjuangan sedangkan tokoh – tokoh tersebut kebanyakan dilahirkan dari sarana pendidikan non formal maka mulailah anak – anak nagari Sumaniak memasuki sekolah – sekolah formal hingga sudah banyak sampai ke Perguruan Tinggi sehingga di awal 60-an sudah banyak anak Nagari Sumaniak yang bertitel sarjana, apakah itu dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi social, pertanian atau teknik bahkan di bidang social budaya. Untuk jenjang SLA sudah hampir merata bagi generasi baru bahkan untuk SLTP mungkin sampai 80 %-an, dan juga tidak kalah pentingnya orang sampai bersekolah ke Luar Negeri dengan demikian masalah pendidikan orang Sumaniak sudah dapat memacu SDM yang selama ini masih rendah dan juga untuk generasi baru boleh dikatakan tidak ada lagi yang tidak pandai lagi tulis baca sarana pendidikan di Nagari yang non formal apakah surau atau mesjid ada disemua lingkungan masyarakat, sarana pendidikan formal seperti SD, SLTP, MTsN,MIS bahkan sebelumnya juga ada PGA, SMK dan juga pendidikan pra sekolah yaitu TK dan bahkan sekarang juga ada PADU, untuk STP ke bawah bahkan termasuk SMK guru – gurunya juga banyak orang Sumaniak sendiri. Untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke Perguruan tinggi umumnya di Padang ada yang di UNAND ada IKIP dan sekarangdibanyak perguruan Tinggi Negeri serta swasta, bahkan Perguruan tinggi di Luar Propinsi seperti ITB,UI,GAMA dll, sehingga dengan demikian untuk hari ini bagi orang Sumaniak tingkat pendidikan SI sudah tidak terbilang lagi, S2 dan S3 bahkan Profesor serta Doctor, sarjana dalam Negeri, sarjana Luar Negeri, yang kesimpulannnya SDM anak Nagari Sumaniak sudah sangat banyak dan sebagian dari mereka tersebut banyak berkiprah dan mengabdi dibidang Pemerintahan dan sampai ke tingkat Menteri, begitu juga dibidang Angkatan Darat atau tentara orang Sumaniak sudah ada yang mencapai tingkat jenderal berbintang 1 dan 2, juga di kepolisian orang Sumaniak mencapai pangkat perwira tinggi. Dengan demikian gambaran masyarakat Nagari Sumaniak hari ini SDM nya yang sempat memadai dan telah berbuat banyak di Nusantara ini.
Bila kita bicara SDM tidak terlepas juga dari pembicaraan SDA, karena Sumber Daya Alam merupakan sumber perekonomian masyarakat Nagari yang ujungnya pasti akan menyentuh kepada kepada kelancaran pendidikan masyarakatnya, bila perekonomian menunjang tentu pendidikan akan dapat dijalankan semaksimal mungkin. Sumber Daya Alam sempat dominan karena latar belakang masyarakat serta sejarah peradaban Nagari itu di mulai membangun persawahan dan perkebunan, artinya masyarakat Nagari itu awalnya dan umumnya sampai sekarang adalah masyarakat Agraris dan petani tulen. SDA yang melimpah ruah mulai dari tanaman tua seperti Cengkeh, Kopi, Kayu Manis adalah primadona dari masa lalu, sebab masyarakat Nagari rajin dan ulet bekerja di kebun dan ada rasa tanggung jawab moril yang tinggi bagi orang tua dahulu, bahwa mereka berbuat semata itu yang di fikirkan dan yang di bayangkan bukan untuk hari itu saja tetapi karena mereka merasa bertanggung jawab penuh terhadap generasi-generasinya, maka mereka berfikir untuk apa yang akan mereka tinggalkan atau wariskan kepada anak cucu mereka kelak, disebabkan itulah mereka rajin bertanam tanaman tua, mereka nikmati di masa itu selebihnya menjadi warisan bagi generasinya yang hingga sekarang masih dapat kita nikmati seperti kelapa, sebagian kayu manis, pohon kayu untuk kebutuhan bangunan, sementara cengkeh sudah tidak ada lagi dan kopi pun tidak dapat lagi menjadi penghasilan yang di harapkan. Parak dan ladang yang subur disebabkan permukaan tanah ketinggian ± 850 dpl yang berudara sejuk, hujan yang merata sepanjang tahun, dan ecosystem berdekatan dengan gunung merapi yang dapat menyuburkan tanah, sampai mengalir di kiri kanan Nagari, mampu mengairi sawah, sehingga persawahan masyarakat selalu dapat di tanami padi dan hasil panen melebihi kebutuhan makan anak Nagari, bahkan sawah pun dapat pula di tanam tanaman muda selingan seperti kacang tanah, jagung, ubi dan lain-lain sebagai pelengkap kebutuhan keseharian masyarakat. Tidak ketinggalan selaku petani orang Sumaniak juga memelihara sapi yang berkembang biak, sebagian kerbau, kambing, ayam serta itik, juga memberikan nilai tambah dalam peningkatan kesejahteraan hidup anak Nagari.
Untuk tanaman muda seperti padi, jagung, kacang tanah dan cabe serta ubi jalar atau ubi batang, dimasa lalu di sekitar Gunung Merapi di hampir semua Nagari semua hutan dan pepohonan tua sangat banyak sehingga lingkungan sangat sehat, hijau, sejuk, tanah menjadi gembur di sebabkan pohonan tua yang masih banyak tersebut menyerap serta menyimpan air tanah dan penyerapan air tanah di pinggang dan kaki gunung Merapi itu mengalirlah air melalui Bandar dan anak sungai ke Nagari sepanjang lereng gunung Merapi, hingga Nagari Sumaniak pun demikian, dari 2 batang air / sungai yang ada, yaitu batang selo dan batang sumaniak, disitu air mengalir sangat mencukupi di tambah juga banyak sumber mata air yang bermunculan yang alirannya dapat mengairi persawahan, di masa itu Nagari Sumaniak alamnya juga sangat sejuk, sehat, banyak pohon kayu yang besar-besar masih tumbuh, serapan air masih berlangsung dalam wilayah Nagari Sumaniak. Dengan adanya air di batang air dan Bandar-bandar yang lebih dari cukup, tanah Nagari Sumaniak menjadi lembab peladangan sangat bagus di tanam tanaman tua, persawahan selalu dapat ditanami padi sehingga dengan kesuburan tanah Sumaniak ketika itu masyarakat hidup dengan perekonomian sangat baik bahkan memberikan dampak social ekonomi yang positif, di dukung pula sikap hidup masyarakat bergotong royong yang sangat kuat dan semangat kebersamaan yang masih tinggi. Sikap gotong royong dan kebersamaan masyarakat yang sangat tinggi dapat di lihat dan di buktikan ketika panen di sawah tidak ada dengan cara mengupah waktu itu tapi dengan cara saling tolong menolong ketika masing-masing panen dan turun ke sawah termasuk juga dalam mengerjakan parak dan perladangan bahkan sampai-sampai dalam lingkungan perkampungan. Di Nagari Sumaniak yang luas wilayahnya ± 2000 Ha, ± 500 Ha diantaranya untuk persawahan dan ± 700 Ha adalah lahan kebun dan perladangan dengan jumlah penduduk hari ini ± 4900 Jiwa dimasa lalu penduduk Nagari Sumaniak mencapai 8000 Jiwa, yang kemudian di decade 60-an sampai sekarang banyak anak Nagari yang pergi merantau untuk mencoba berjuang merobah nasib mencari rezki dengan cara berdagang dan sebagian bekerja di bidang pemerintahan atau swasta. Sebagaimana luas areal tersebut di atas dan dengan jumlah penduduk Nagari yang ada, keseimbangannya masih memberikan peluang untuk dapat hidup dengan kehidupan yang layak.
Sesuai dengan sumber daya manusia orang Sumaniak yang juga menjalani kemajuan seimbang dengan tuntutan masa dan yang berhubungan dengan sumber daya alam sesungguhnya orang Sumaniak akan dapat lebih memanfaatkan serta mendaya gunakan semua potensi yantg ada tersebut, seghingga sesungguhnya Nagari ini semakin makmur, semakin maju dan semakin berkembang dari segala aspek kehidupan.
Nagari Sumaniak dari aspek seni budaya dan nilai-nilai tradisional sesungguhnya telah tertata sangat rapi dan sudah ada aturan-aturan baku dan di warisi turun temurun sejak nenek moyang orang Sumaniak, nilai Adat budaya telah mengatur bagaimana sikap hidup masyarakat yang dikatakan bernagari, kalau kita sebut bernagari tentu tidak sama dengan sikap hidup orang perkotaan. Bahwa sikap hidup orang bernagari itu jelas bahwa di Nagari itu ada sebuah structural kultur fungsional atau ada peranan luhur nilai-nilai keminang kabauan, yaitu Nagari di Minang Kabau dikuasai oleh wanita selaku penganut paham pewaris matrilineal atau garis keturunan ibu, jadi apapun bentuknya yan g akan dikuasai itu adalah yang menguasainya garis ibu keatas dan kebawah, sedangkan peran dan fungsi laki-laki hanya sebatas berkuasa, dengan kata lain menyebutkan bahwa laki-laki berkuasa dan wanita menguasai artinya dalam mengambil suatu keputusan tetap di tangan laki-laki, tetapi apa yang telah menjadi keputusan itu kemudian dikuasai atau dimilki dan diurus kemanfaatannya oleh perempuan, dengan demikian laki-laki mempunyai hak dalam menentukan suatu keputusan, maka hal tersebut yang dimiliki kaum laki-laki diatas rumah orang tuanya dinamakan tungganai atau orang yang mengurus dan terdepan diatas rumah tangga orang tuanya digaris ibu tersebut. Maka hokum kultur itu menyebutkan bahwa rumah batungganai, kampuang batuo suku bapanghulu nagari bajuaro, bahwa disitulah dikatakan banagari itu bakorong bakampuang basuku, dan kalau diatas rumah tadi ada tungganai yang punya peranan penting disebut juga sebagai mamak kepala waris, maka dalam bakorong bakampuang banagari adalah yang berperan anatar mamak tungganai, mamak korong, mamak kaum dan mamak suku.
Karena nagari sumanik adalah nagari baradat, dan dalam beradat sudah ditetapkan filosofi pandangan mendasar hidup dan kehidupan anak nagari yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adapt mamakai sanda manyanda kaduonyo tingga dikito mamakaikan, maka dengan dasar filosofi hidup tersebut ditengah-tengah masyarakat nagari itu dijalankan oleh orang-orang adat, orang-orang ibadat dan pemuka-pemuka atau orang yang menjadi panutan atau orang-orang yang didahulukan selangkah, ketiga orang tersebut disebut niniak mamak, alim ulama, cdiak pandai, ketiga unsur tersebutlah yang selalu mengambil kebijakan dinagari yang satu sama lain saling isimenigsi, bahu membahu dan seiring sejalan, maka dinyatakan juga bahwa ketiga unsure tersebut merupakan tigo tungku sejarangan yang satu samlain tidak bisa dipisahkan atau ditinggalkan bagaikan sebuah tungku yang tiga batu pegangannya, kalau dibuang satu tentu tak akan berfungsi yang dimaksud tungku tersebut, oleh karena itu juga ketiga batu tungku yang seiring sejalan tersebut dengan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bagai tigo tali sapilin kalau tigo tali itu satu pilin maka ia jadi bagus kelihatannya, menjadi kuat kalau digunakan. Dalam masyarakat bernagari itu disamping adanya peran tigo tungku sejarangan yang berasal dari atas rumah maka dari disitulah ditetapkan bahwa masyarakat nagari adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat, dan masyarakatnya satu samma lain mempunyai hubungan emosional yang kuat, dinama disebabkan perkawinan, semenda, besan, serta bako baki, sehingga kalau didalam hubungan anak nagari itu tak obahnya bagai jarring laba-laba yang mana satu sama lain ada sangkutannya, semuanya itu tidak ada kalau hidup dalam masyarakat perkotaan, yang lebih mengarah hidup masing-masing atau mementingkan keutamaan dirinya dan bersikap kurang peduli kepada kepentingan orang lain disebabkan latar belakang orang-orang perkotaan bersal dari berbagai asal dan ras.
Aturan-aturan dominan untuk masyarakat perkotaan adalah selalu ada aturan baru atau aturan pemerintahan. Sedemikian rupa tatanan hidup masyarakat bernagari yang sesungguhnya sarat aturan yang telah diwarisi turun temurun dari nenek moyang orang minang kabau di tambah lagi bahwa meskipun hidup disuatu Nagari dengan aturan Nagari tetapi Nagari itu adalah bagian kecil dari wilayah NKRI ( Negara Kesatuan Repoblik Indonesia ) maka aturan dan perundang-undangan Negara juga berlaku di Nagari tersebut sedang aturan Nagari hanya berlaku sesuai dengan dasar aturannya yaitu Adat Salingkuang Nagari, hanya saja kalau berbicara tentang minang kabau yang konon dari dahulu kala katanya orang minang kabau pintar-pintar sehingga dengan kepintaran tersebut segala sesuatu hal masyarakat cerita dan sejarah aturan dan undang-undang Adat juga disampaikan secara diwariskan atau disampaikan lewat tutur kata, kaba dan pesan, jadi tidak ada dituliskan atau dibukukan. Maka masa berganti zaman berobah manusiapun mengalami adaptasi, system dan nilai-nilai, paradigma serta tuntutan kehidupan juga mengalami perobahan. Perobahan tersebut ada yang didasari kenyataan dari siklus alam, ada penyebabnya tuntutan kebutuhan dasar kehidupan, fenomena dari masa ke masa yang tidak pernah abadi, dan yang sangat dominant mempengaruhi perobahan tatanan hidup manusia ialah pengaruh budaya asing bagi suatu Nagari tersebut apalagi masa sekarang arus globalisasi yang tidak tersaring dan tipisnya pendirian atau keteguhan hati masyarakat Nagari tersebut dalam berhadapan dengan globalisasi tersebut. Akibat dari berbagai macam perobahan, pengaruh globalisasi, rendahnya tingkat pendidikan yang mengakibatkan sangat kurangnya wawasan, pendirian hati tidak teguh dan berbagai pengaruh, telah membuat masyarakat nagari dari masyarakat berkepedulian yang tinggi tidak lagi mau tau dengan lingkungan kehidupan mereka, telah jauh dari sikap kegotong royongan, telah tipisnya kebersamaan, berkurangnya pelaksanaan Kato Nan Ampek, serta tipisnya raso pariso, ereng jo gendeng baso-basi serta pandang memandang. Pengaruh lain yang sangat kuat merobah sikap mental dan perilaku masyarakat adalah sisa-sisa paham komunis yang masih mengakar di hati masyarakat nagari yaitu sekulerisme atau mengenyampingkan masalah – masalah yang pokok, kemudian system pola hidup Orde Baru membuat masyarakat nagari semakin egois dan hidup terbuai dengan di atur atau di suapi dan di nina bobokkan dengan sering dibantu dalam bantuan konsumtif, akhirnya masyarakat nagari kehilangan jati diri dimana sesungguhnya potensi masyarakat nagari itu sangat kuat sangat besar kekuatannya baik tumbuh berkembang serta bila difahami oleh masyarakatnya dari masa ke masa.
Sumber daya Masyarakat Nagari di bidang agama penulis sangat sadar melihat dan menjalani sendiri dimasa tahun 80 ke bawah di mana masih hidupnya nuansa surau, anak-anak ketika itu setelah usia sekolah tidak lagi tidur di rumah, pagi ke sekolah pendidikan formal malam mengaji disurau serta belajar bersama teman, anak perempuan setelah pulang mengaji pulang kerumah, anak laki-laki tidur di surau dan malam dilanjutkan dengan belajar pendalaman ilmu agama sehingga anak-anak masa lalu mayoritas keseimbangan pendidikan umum dengan pendidikan ilmu agama berjalan dengan baik sehingga raja masa lalu adalah anak berprestasi, berilmu agama, punya budi pekerti serta sopan santun punya rasa hormat, sebagai anak nagari mereka masih memahami aturan raso dibao naiak pareso dibao turun, pandang memandang kok indak pandang tagak mungkin pandang duduak, eriang jo gendeang adalah bahasa kiasan, yang mestinya remaja masalalu tak perlu dengan berkata keras atau caci makian.begitu juga sumberdaya manusia dalam sumber ekonomi yang mayoritas adalah pertanian, seperti kemampuan dalam ilmu bertani orang sumaniak sangat bagus karena juga diiringi dengan sikap kegotoroyongan seperti ikut tolong menolong bercocok tanam, tolong menolong menyabit padi atau panen disawah sehingga orang lewat pun ketika itu akan sato sakaki bila melihat ada yang panen, tidak hanya melihatkan begitu saja bila ada orang turun kesawah, begitu juga di parak dan semangat hidup bersih aman dan tertib ditengah kampung semua tidak hanya tinggal diam, tapi semua sangat peduli dengan cara bersama-sama tersebut. Demikiann juga dalam pelaksanaan helat perkawinan akan terlihat sikap kegotong royongan itu mulai bersama membuat barung-barung, bersama-sama mencari sesuatu kehutan, bersa-sama mencari kebutuhan perhelatan dalam bentuk pinjam meminjam, bersama-sama sesuai tugas dan untuk bagi masing-masing mereka lakukan sesuai kedudukan mereka, apakah itu namanya sipokok apakah itu sumando apakah pabisan, amai-amai, urang kampuang dan karib baik lainnya, semua menyatu, berbuat menurut tugas masing-masing.
Begitu juga bila terjadi kematian yang sudah menjadi falsafah hidup masyarakat nagari bahwa kaba baiak baimboan kaba buruak bahamburan, untuk kaba buruak tersebut secara spontan semua kepentingan jalan tanpoa dikomando, seperti siapa menggali kubur, siapa urusan penyelamatan jenazah, dan siapa urusan untuk berbagai keperluan, semua sudah ada saja yang mengerjakan. Bahkan sampai ketika pelaksanaan sunatan yang semua itu sudah ada aturan baku yang tidak tertulis tapi adalah telah lazim dan telah terwarisi turun temurun sikap hidup yang demikian itu berlangsung.
Batagak rumah baru juga semua dihadiri oleh orang sekampuang bahkan tempo dulu membangun rumah gadang adalah dengan cara gotong royong masyarakat nagari dimasa dalam pelaksanannya hanya tinggal komando dan bagi segenap orang-orang yang punya kepentingan dan kemampuan mereka sudah jelas saja apa yang mereka harus kerjakan, sehingga dinagari sumaniak hari ini masih dapat dilihat rumah gadang bersusun sirih yang masih berjumlah lebih 200 buah bahkan ada yang berusia diatas 200 tahun bahkan aada yang 300 tahun semua itu bukti sejarah sumaniak bukti kebesaran nagari sumaniak,bukti bahwa orang sumaniak telah melewati masa kejayaan yang telah berhasil membangun hidup masyarakat bernagari dalam rangka melestarikan budaya adat dan nilai tradisi semisal kesenian anak nagari seperti randai, saluang, silat, talempong, tari-tarian, berbalas pantun bahkan ada batata sebagai kesenian asli anak nagari sumanik yang kini telah terlupakan, kesenian lain yang juga ada secara umum diminang kabau ada diperankan dinagari sumaniak seperti rabab, sijobang dan tarian minag pada umumnya kesenian tersebut juga dilaksanakan dalam pelaksanaan adat istiadat nagari seperti ketika batagak panghulu dan perhelatan paghulu keberapa kesenian tersebut dilaksanakan, begitu juga peralatan kesenian tersebut jjuga diperankan seperti talempong, agung dan gendang.
Dalam penerapan sumber daya manusia masyarakat nagari, juga potensi masyarakat yang berhubungan dengan hal tugas dan fungsi pengaturan dan penguasaan yang telah merupakan sako
1 komentar:
Salam Perkenalan., saya Suryokoco ( www.relawandesa.wordpress.com – www.dimassuryo.multiply.com ) mengajak kawan kawan untuk berpartisipasi membangun desa dengan membuat blog tentang desa kawan kawan. Kirim alamat blogdesa anda ke blogdesa@yahoo.co.id dan kami akan masukkan dalam pencarian blogdesa di www.relawandesa.com
Saatnya kita membangun desa dengan kemampuan kita dimulai dari sekarang.
Posting Komentar